Kamis, 27 Desember 2007

Menyoal Sengketa Tanah

Kasus tanah semakin tajam antara warga vs warga, warga vs Negara, warga vs tentara, dst. Rakyat miskin terusir dari tanah airnya sendiri, hanya karena tidak mampu membeli sebidang tanah untuk tempat tinggal, sampai-sampai nyawa menjadi taruhannya.

Setelah sebelumnya persoalan sengketa tanah terjadi di Meruya Selatan, Jakarta Barat, antara PT. Porta Nigra dan warga Meruya Selatan yang nyaris menimbulkan bentrokan berdarah, kini media dihiasi dengan kasus penembakan warga desa Alastelogo di Pasuruan Jawa Timur oleh pasukan mariner, penembakan yang berujung pada tewasnya 4 (empat) orang warga dan 8 (delapan) orang luka-luka juga dipicu oleh persoalan sengketa tanah yang sudah berlangsung sejak tahun 1998. Kepala Badan Pertnahan (BPN) Joyo Winoto Nasional mengatakan bahwa sedikitnya terdapat 2.810 kasus sengketa tanah skala nasional. Kasus sengketa tanah yang berjumlah 2.810 kasus itu tersebar di seluruh Indonesia dalam skala besar. Yang berskala kecil jumlahnya lebih besar lagi, katanya.

Setidaknya ada 3 (tiga) factor penyebab masalah sengketa tanah tersebut. Pertama Sistem administrasi pertanaha, terutama dalam hal sertifikasi tanah, yang tidak beres. Adanya sertifikat kepemilikan tanah ganda misalnya, adalah salah satu dampaknya. Masalah ini muncul boleh jadi karena sistem administrasi yang lemah dan mungkin pula karena banyaknya oknum yang pandai memainkan celah-celah hukum yang lemah. Dalam kasus sengketa tanah di Meruya Selatan, misalnya hal itu diakui oleh anggota Komisi II Anhar Nasution. Beliau mengatakan, ada dugaan kasus ini muncul ketika Pemda DKI mengalihkan aset tanahnya seluas 301 hektar di daerah itu. Namun, pengalihan aset itu tidak dilakukan secara tertib sehingga terjadi penggelapan data dan informasi. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR Priyo Budi Santoso menduga, kesimpangsiuran kepemilikan lahan tersebut disebabkan adanya “kongkalingkong” oknum Pemda, aparat BPN dan Pihak lain (Republika.co.id, 23/05/2007. Kedua Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik. Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik masyarakat adapt diambilalih oleh para pemodal dengan harga murah. Di pualu Jawa saja dalam kurun waktu tiga tahun (1991-1993) tanah sawah produktif yang beralih fungsi seluas 57.987, 50 ha, 16.452,30 ha untuk perumahan dan industri, 5.210,20 ha untuk perusahaan/perkebunan, dan 26.774,20 ha untuk peruntukan lainnya diluar sector pertanian seperti tempat rekreasi elitis, lapangan golf, dll. Ketiga Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal (sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal (de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Di Jabotabek saja, misalnya, luas lahan yang dikuasai pengembang swasta sejak tahun 1998 mencapai sekitar 100.000 ha. Dan 75 % diantaranya dibiarkan terlantar (Indonesia- house,org, 14/10/03). Ironisnya ketika masyarakt miskin mencoba memanfaatkan lahan terlantar tersebut dengan menggarapnya, bahkan ada yang sampai puluhan tahun, dengan gampanya mereka dikalahkan “hak”-nya di pengadilan tatkala muncul sengketa.

Bagaiman Islam Mengatasi Masalah Sengketa Tanah Tersebut.

Pertama kebijakan menghidupkan tanah mati (ihya’al-mawat). Dalam hal ini, Syariah Islam mengizinkan siapa saja yang memiliki kemampuan untuk menghidupkan tanah-tanah yang mati (tidak produktif) dengan cara mengelolah/menggarapnya yakni dengan menanaminya. Setiap tanah yang mati, jika dihidupkan/digarap oleh orang, adalah milik orang yang bersangkutan. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW Siapa saja yang telah mengelolah sebidang tanah, yang bukan milik orang lain, maka dialah yang paling berhak (HR. Al-Bukhari). Siapa saja yang memagari sebidang tanah (kosong) dengan pagar, maka tanah itu menjadi miliknya. (HR. Abu Dawud). Siapa saja yang menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya (HR. Al-Bukhari). Hadis ini berlaku mutlak bagi siapa saja, baik muslim maupun non muslim. Hadis ini menjadi dalil kebolehan bagi siapa saja untuk menghidupkan/memagari tanah mati tanpa perlu izin kepala Negara (khalifah). Alasannya, karena perkara-perkara yang mubah memang tidak memerlukan izin khalifah (An-Nabhani, 1990-138). Kedua: Kebijakan membatasi masa berlaku legalitas kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah pertanian, yang tidak produktif alias ditelantarkan oleh pemiliknya, selama 3 (tiga) tahun. Ketetapan ini didasarkan pada kebijakan khalifah Umar bin al-khathab ra. yang disepakati (ijma) oleh para sahabat Nabi SAW. Beliau menyatakan orang yang memagari tanah tidak berhak (atas tanah yang dipagarinya itu) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun. Dengan ketentuan ini, setiap orang tidak bisa seenaknya memagari tanah sekaligus mengklaimnya secara sepihak, sementara dia sendiri telah menelantarkan lebih dari tiga tahun, orang lain berhak atas tanah tersebut. Ketiga Kebijakan Negara memberikan tanah secara cuma-cuma kepada masyarakat (igtha ad-dawlah). Hal ini didasarkan pada af-al (perbuatan) Rasulullah SAW, sebagaimana yang pernah beliau lakukan ketika berada di Madinah. Hal yang sama juga dilakukan oleh khulafaur Rasyidin sepeninggal beliau (An-Nabhani, 1990;120). Pemberian Cuma-Cuma dari Negara ini berbeda faktanya dengan menghidupkan tanah mati. Perbedaanya, menghidupkan tanah mati memang berhubungan dengan tanah mati, yang tidak dimiliki seseorang dan tidak ada bekas-bekas apapun (pagar tanaman, pengelolaan, dll) sebelumnya. Adapun pemberian tanah secara Cuma-Cuma oleh Negara tidak terkait degan tanah mati, namun terkait dengan tanah yang pernah dimiliki/dikelola oleh seseorang sebelumnya yang karena alasan-alasan tertentu, seperti penelantaran oleh pemiliknya diambilalih oleh Negara, lalu diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Keempat Kebijakan subsidi Negara. Setiap orang yang telah memiliki/ menguasai tanah akan dipaksa oleh Negara (khalifah) untuk mengelolah/menggarap tanahnya. Tidak boleh membiarkannya jika mereka tidak punya modal untuk mengelola atau menggarapnya, maka Negara akan memberikan subsidi kepada mereka. Kebijakan ini perna ditempuh oleh khalifah Umar Bin Al-Khaththab ra. Beliau pernah memberikan dan dari baitul mal (kas Negara) secara Cuma-Cuma kepada petani rak, yang memungkinkan mereka bisa menggarap tanah pertanian serta memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Jadi, hanya dengan kembali ke aturan Allah persoalan diatas dapat diselesaikan dengan tuntas, juga persoalan lainnya, wallahu a’lam.


Ummu Syaddad

Tidak ada komentar: