Kamis, 03 Januari 2008

Kucing Adalah Kucing Karena Tikus Adalah Tikus

Akmal Sjafri - Manusia memang tak pernah hidup sendiri. Keadaannya dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya. Bahkan tidak salah kiranya jika kita katakan bahwa jati diri seseorang tergantung pada orang lain. Dalam bahasa yang lebih cantiknya, “saudara kita adalah cermin dari diri kita sendiri.”

Sebagai contoh, tidak layak seorang lelaki menepuk-nepuk dadanya dengan membanggakan diri sebagai kepala rumah tangga yang baik, sementara istri dan anaknya tidak berpendapat demikian. Tidak mungkin ia bisa menjadi juri bagi dirinya sendiri. Jika ingin tahu kualitas seorang kepala rumah tangga, maka referensi terbaik adalah anak dan istrinya.
Dalam Islam, tidak ada yang boleh mengaku (atau merasa) sudah saleh jika masih cuek-bebek dengan keadaan tetangganya. Jangan merasa sudah bertaqwa hanya dengan modal shalat, shaum, zakat, dan naik haji. Kualitas diri seseorang juga sangat tergantung pada ‘sertifikasi’ yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya.

Tidak semua orang bisa jadi pemimpin, apalagi pemimpin yang sukses. Pemimpin hanya bisa sukses jika orang-orang yang dipimpin mengakuinya sebagai pemimpin dan – dengan sendirinya – patuh pada instruksinya. Jika di mata bawahannya ia hanyalah seorang oportunis yang menyebalkan, maka sampai kapan pun ia takkan pernah sukses, karena timnya tidak solid.
Menurut Ibnu Khaldun, sebuah bangsa akan terpuruk jika sudah memenuhi syarat untuk terpuruk. Jika bangsa itu dipandang sebagai bangsa yang mudah untuk dikendalikan, maka bangsa-bangsa lain akan berlomba mencaploknya. Begitulah ironinya. Seringkali seseorang tertindas karena ia sendiri yang menunjukkan ‘bakat’ untuk menjadi yang tertindas.

Beberapa waktu yang lalu, saya menyaksikan sebuah liputan hasil penelitian mutakhir seputar ‘syaraf takut’ pada tikus. Secara alamiah, tikus memang menganggap kucing sebagai makhluk yang berbahaya. Entah bagaimana, tikus-tikus (terutama yang badannya kecil) mewariskan pengetahuan ini dari generasi ke generasi. Akibatnya, reaksi umum seekor tikus ketika bertemu kucing adalah lari ketakutan.

Entah bagaimana, para ahli menemukan suatu cara untuk mengatasi ketakutan tersebut. Beberapa tikus dijadikan bahan eksperimen dengan mematikan syaraf yang membuatnya merasa takut pada kucing. Setelah proses yang njelimet itu, tikus-tikus itu pun berubah menjadi ‘supertikus’: mereka tidak lagi takut kepada kucing. Mereka memperlakukan kucing sebagaimana hal-hal baru lainnya dalam hidup. Mereka mendatanginya, menyodorkan moncong ke arahnya, mencium baunya, mengendus-endus di depan mukanya, bahkan sampai berani mencolek-colek wajah kucing.

Bagaimana nasib si kucing? Di hadapan tikus-tikus ajaib itu, ternyata sang predator malah kebingungan sendiri. Apa yang terjadi? Mengapa tikus-tikus itu menjadi ‘tidak tahu diri’? Mengapa mereka tidak takut lagi dengan saya? Begitulah kira-kira pertanyaan yang berkecamuk dalam benak si kucing.

Kejadian ini sebenarnya tidak seberapa mengherankan. Kita sering melihatnya dalam kehidupan sehari-hari, meski dalam bentuk yang berbeda. Jika ada mobil menyenggol mobil lainnya, misalnya, perdebatan mengenai siapa yang salah biasanya tidak ditentukan oleh polisi, bukti, ataupun saksi, melainkan siapa yang lebih agresif dalam ‘melakukan serangan’. Siapa yang lebih galak biasanya akan menang.

Begitulah dunia intimidasi. Siapa yang lebih nekat biasanya sudah setengah jalan menuju kemenangan. Sebaliknya, mereka yang sebenarnya punya potensi untuk berjaya tapi terlalu takut untuk menghadapi tantangan akan tertinggal di belakang. Mereka yang kalah oleh intimidasi sudah kalah sebelum bertarung.

Menyusul kepergian Syafiq Mughni –seorang petinggi Muhammadiyah dari Jawa Timur– ke markas zionis Israel beberapa waktu yang lalu masih menyisakan sesal bagi banyak pihak. Syafiq Mughni sendiri sempat melayangkan ‘pembelaannya’ mengenai insiden ini. Meski demikian, pertanyaan besarnya tetap belum terjawab: Mengapa Syafiq Mughni bersikap begitu ‘mesra’ dengan kaum Zionis?

Syafiq Mughni tidak pulang tanpa oleh-oleh. Sekembalinya dari markas Zionis, selain menulis artikel pembelaan diri tadi, ia juga menggambarkan hasil pemikirannya selama perjalanan itu dan dimuat di surat kabar Jawa Pos. Salah satu inti dari pemikirannya adalah bahwa Israel terlalu kuat (lihat paragraf ke-13) untuk dihadapi secara militer. Dengan demikian, Syafiq Mughni menyarankan Palestina untuk menggunakan pola perjuangan yang lebih lunak dan kooperatif terhadap kaum penjajahnya. Tidak makan waktu lama, artikel ini langsung disambut dengan artikel sanggahan yang sangat keras karya Khalid Amayreh, seorang jurnalis asli Palestina. Isi artikel tersebut benar-benar menggambarkan pedihnya hati seorang Muslim Palestina menyaksikan ‘cendekiawan Muslim’ dari negeri yang konon memiliki jumlah penduduk Muslim terbanyak di dunia, namun asyik ‘bermesraan’ dengan Shimon Peres.

Barangkali memang beginilah wajah dunia intimidasi itu. Kucing adalah kucing karena tikus adalah tikus. Ketika tikus berubah menjadi ‘supertikus’, barulah kucing mati langkah. Hal ini harus menjadi bahan pemikiran kita bersama. Barangkali kaum Zionis menjadi kuat karena kita terlalu pengecut. Barangkali mereka bebas menjajah saudara-saudara kita karena kita sendiri yang merasa tak mampu melawannya. Jika tikus pun bisa menjadi ‘supertikus’, lantas mengapa masih ada saja ‘cendekiawan Muslim’ yang bermental tikus?

Tidak ada komentar: