Minggu, 06 Januari 2008

Khalwat (Pacaran), Adakah Yang Islami ??

Perkawinan kerap diawali dulu dengan proses pacaran. Rasanya, kurang afdhal kalau nikah tanpa pacaran. Terlebih bagi pasangan yang usianya tergolong masih remaja, bercinta adalah rangkaian awal merajut tali perkawinan. Namun, benarkah berpacaran dilarang oleh Islam? Adakah pacaran yang diperbolehkan?

“Yang muda, yang bercinta”. Mungkin itulah deskripsi yang sangat pas untuk memotret dunia remaja masa kini. Pacaran sudah demikian membudaya di setiap sudut kota , bahkan sampai di pelosok desa. Yang agak fenomenal (sekaligus mengejutkan) , budaya pacaran tak hanya monopoli kaum remaja semata, kini, anak-anak kecil yang masih ingusan pun banyak yang sudah kenal pacaran. Kita bisa lihat dengan mata telanjang sejumlah pasangan ABG (Anak Baru Gede) seusia anak SD, SLTP yang terseret jalinan asmara . Nah?

Budaya pacaran demikian tertanam kuat lantaran ‘virus’ yang disebarkan lewat film-film yang ditayangkan tanpa reserve. Kisah-kisah percintaan menyebar luas dalam sejumlah media, televise, buku, novel, dan sejenisnya. Apalagi perkembangan teknologi dunia maya kini memungkinkan penyebaran informasi dan komunikasi yang semakin dahsyat tanpa bisa dikontrol. Semua hamper bisa dinikmati secara bebas oleh siapa pun, tak memandan usia. Ditambah lagi banyaknya tempat-tempat diskotik, bioskop, cafĂ©, fasilitas gaul anak muda, tempat nongkrong atau tempat-tempat sepi yang tersedia buat mereka yang ingin bercinta.

Ya, pacaran. Sebuah kata yang sangatmenarik untuk dibicarakan, sekan tak ada habis-habisnya sepanjang roda zaman ini masih berputar. Pro-kontra mengenainya pun sudah ada sejak pacaran itu sendiri ada. Generasi muda Islam saat ini seringkali menayakan hal pacaran. Kebanyakan yang ditanyakan ‘fikih pacaran’. Kebanyakan mereka bertanya, “Sebenarnya boleh tidak sih pacaran itu?”. Atau,” Ada tidak pacaran yang Islami itu?”. Serta pertanyaan lain yang masih senada.

Khalwat = Pacaran?
Dalam bahasa Arab, pacaran dikenal dengan khalwat . Secara etimologis, khalwat berarti sunyi atau sepi. Dalam terminologi hukum Islam, khalwat didefinisikan dengan “keberadaan seorang pria dan wanita ajnabi (wanita yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan laki-laki itu sehingga halal menikahinya) di tempat yang sepi tanpa didampingi oleh mahram dari pihak laki-laki atau perempuan”. Yang dimaksud dengan wanita ajnabi, wanita yang tidak termasuk mahram. Mahram dalam al-Qur’an yaitu ibu yang menyusui, saudara perempuan sepersususan, mertua, dan lain-lain.

Menurut kesepakatan ulama fikih, pacaran dalam arti positif yaitu saling mengasihi dan mencintai antara pria dan wanita yang tidak melanggar ketentuan Islam, diperbolehkan. Alasannya, Nabi memang menganjurkan agar sesame manusia saling mengasihi dan mencintai, termasuk antara pria dan wanita. Rasulullah memerintahkan umatnya agar memuliakan dan mengasihi perempuan, sebagaimana sabdanya: “Tiada yang lebihmulia kecuali laki-laki yang memuliakan/mengasih i perempuan dan tiada yang lebih hina kecuali laki-laki yang menghina perempuan’ (HR. Ibnu Asakir dari Ali bin Abi Thalib).

Meski Islam memandang pacaran dalam pengertian saling mencintai dan mengasihi antara pria dan wanita sebagai sikap terpuji, para fuqaha sepakat mengharamkan kegiatan berdua di tempat-tempat yang sepi yang memungkinkan mereka melakukan maksiat, karena jelas pacaran tidak sama dengan penikahan.

Alasan pengharaman ini antara lain Hadits dari Ibnu Abbas:”Aku pernah mendengar Rasulullah berkhutbah, di dalam khutbahnya beliau berkata: “Tidak boleh berkhalwat seorang laki-laki dan seorang perempuan kecuali didampingi oleh salah seorang mahram. Dan tidak boleh keduanya keduanya berpergian tanpa ada mahram yang menyertai mereka”. Kemudian salah seoran sahabat bertanya kepada beliau: “Ya Rasulullah, istriku hendak berangkat menunaikan ibadah haji, sedang aku sendiri telah bertekad untuk menyertaimu dalam beberapa peperangan”. Rasulullah berkata:”Pergilah! Dampingi istrimu menunaikan haji, tinggalkan peperangan!” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Berdasar pada hadits ini, ulama fikih sepakat mengatakan bahwa khalwat antara seorang pria dan seorang wanita ajnabi tanpa disertai dengan mahram adalah haram, meski keduanya tidak melanggar hal-hal yang melanggar ajaran Islam, karena larangan ditujukan pada perbuatan khalwatnya.

Larangan khalwat antara laki-laki dan teman lawan jenisnya adalah karena ada dugaan keras akan terjadinya kemaksiatan. Sebagaimana disinyalir oleh Nabi dalam sabdanya yang diterima dari Amir bin Rabi’ah:”Tidak boleh seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang perempuan, dan hal itu tidak halal baginya karena yang ketiga di antara mereka adalah setan, kecuali ada mahram yang mendampingi mereka”(HR. Ahmad bin Hanbal).

Hadits Nabi tersebuit hendak menyatakan, peluang bagi setan untuk memperday orang yang berpacaran adalah ketika mereka asyik berduaan di tempat-tempat nan sunyi. Namun dengan hadirnya salah seorang mahram dari mereka, peluang setan menjadi tertutup, dan dengan demikian tak perlu dikhawatirkan terjadinya kemaksiatan kecuali mereka bersekongkol.

Uraian di atas sebenarnya memberi pengertian, hakikat khalwat itu danya kemungkinan terjadi perbuatan maksiat antara laki-laki dan perempuan bila saling beduaan, dan tidak hanya tergantung pada kondisi ramai atau sepinya tempat mereka untuk berdua-duaan. Di perlbagai di mana saja yang memungkinkan mereka berbuat maksiat bisa disebut khalwat. Sebab itu, Nabi pun melarang setiap orang memasuki rumah wanita ketika mahramnya tidak ada di dalam rumah tersebut.”…Laki-laki tidak boleh memasuki rumah wanita kecuali ada mahramnya.”(HR. al-Bukhari dan Muslim).

Pacaran via Chatting dan Telepon
Sebagian kalangan berpendapat, tidak tepat jika khalwat hanya dimaknai duduk berduaan secara fisik. Yang lebih tepat dalam pengertian luasnya, menurut kalangan ini, yaitu bersepi-sepi dari kehadiran orang lain. Ketika dua sejoli ngobrol asyik via telepon atau chatting dan hanya mereka saja tanpa kehadiran yang lainnya, maka hakikatnya mereka sedang menyepi dari manusia. Sehingga tindakan itu bisa dikatakan berkhalawat, meski secara fisik mereka tidak berda dalam satu tempat. Khalwat ini disebut ‘khalwat virtual’.

Bagi kalangan yang berpendapat demikian, khalwat (pacaran) virtual dinilai lebih bahaya dampak negatifnya, karena luput dari perhatiaan orang. Contoh perbandingannya, orang yang pacaran berdua duduk di kebun, bisa jadi tertangkap aparat dan diarak keliling kampong, tapi pacaran via chatting, hukum mana yang bisa melarangnya dan petugas mana yang bisa menangkapnya? Sehingga dengan chatting, pasangan itu bisa bebas pacaran bejam-jam.

Mestinya modus khalwat ara baru ini jadi perhatian kaum agamawan. Bukankah sekarang sudah banyak modus pacaran party line via telepon dengan tarif tertentu.

Selama ini kita mengangap bahwa pacaran itu adalah metode untuk melakukan pendekatan untuk mengenal lebih dekat. Namun, kenyataanya tujuan itu malah jarang tercapai.Alih- alih melakukan pendekatan, yang terjadi justru melakukan sekian banyak kemaksiatan.

Banyak juga orang salah kaprah yang menganggap khalwat bersama tunangan tak jadi persoalan secara syara’ dan bahkan menjadi kebiasaan yang seolah tak dicela agama. Sehingga orangtua yang permisif ini membiarkan anaknya pergi berdua dengan sang tunangan tanpa mahram. Padahal, Islam tegas melarang!

Adakah Pacaran Islami?
Bagaimana seorang laki-laki bisa mengenal calon pasangan hidupnya kalau bukan dengan cara pacaran? Islam sesungguhnua membolehkan laki-laki yang meminang memandang dan mengenal lebih dekat perempuan yang dipinang, atau sebaliknya. Islam pun sejak awal sudah memperkenalkan ta’aruf sebagai sarana melakukan pengenalan dan pendekatan. Ta’aruf inilah yang bisa disebut pacaran yang syar’i bisa dilihat dari tujuan dan caranya. Ta’aruf adalah sesuatu syar’i bagi pasangan yang ingin nikah. Tujuan ta’aruf jelas untuk mengetahui kriteria calon pasangan.

Ketika melakukan ta’aruf, seseorang baik pihak laki-laki atau wanita berhak untuk bertanya detail, seperti tentang penyakit, kebiasaan buruk dan baik, sifat dan lainnya. Dalam ta’aruf dengan calon pasangan, pihak laki dan wanita dipersilahkan menanyakan apa saj kira-kira yang terkait dengan kepentingan masing-masing nanti selama mengarungi kehidupan. Tentu sja semua itu harus dilakukan dengan penuh etika Islami. Tidak boleh dilakukan Cuma berdua, Harus ada yang mendampingi dan yang utama adalah wali atau keluarganya. Jadi ta’aruf bukanlah bermesraan berdua, tapi lebih pada pembicaraan yang bersifat realistis untuk mempersiapkan sebuah perjalanan panjang dalam rumah tangga kelak. Di sinilah letak perbedaan antara khalwat dengan ta’aruf.

Tidak ada komentar: